Home Jurnal-bebas Muhasabah Tahun Baru

Muhasabah Tahun Baru

1157
0

Tahun baru. Ya, beberapa hari lagi tanggal satu januari 2010. Kebanyakan masyarakat kita menyambut tahun baru ini dengan suka ria, berpesta pora. Menanti detik detik jam 24.00 pada awal tahun. Atau menyaksikan matahari terbit di ujung timur. Biaya pun dikeluarkan tidak tanggung tanggung. Pemerintah kita mengucurkan dana sekian milyar rupiah untuk di bakar, uang itu digunakan untuk dibelikan kembang api. Pawai, konfoi malam menuju tempat wisata. Euforia menyambut tahun baru ini begitu tinggi.
Lalu, apakah anda juga demikian?
Begitu banyak ironisme di masa ini. Ironisme yang seakan sudah menjadi bumbu kehidupan.
Ironisme betapa kita kagum dan begitu membanggakan tradisi yang disusupkan oleh musuh musuh kita. Kita lupa dan merasa rendah jika mengaku dan memegang teguh identitas sendiri.
Dari sekian kita. Jika ditanya, hari ini tanggal berapa hijriah? Saya yakin hanya segelintir orang saja yang menjawab dengan cepat dan tepat. Yang lain? Waah, sekarang tahun berapa hijriah saja lupa atau tidak tahu. Bahkan bulan dalam setahun tidak hafal. Yang tahu hanya bulan Ramadhan, karena yang di tampilkan di TeVe hanya bulan ini saja.
Saudaraku, saya tidak akan panjang lebar membahas hal ini. Apa itu sejarah hijriah atau masehi, kemudian pengaruhnya bagi kita.
Saudaraku… Posisi ilmu dan kefahaman kita dalam beragama begitu penting.
Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman, dan meninggikan derajar orang orang yang berilmu.
Kenapa Allah membedakan mereka? antara yang beriman dan berilmu.
Kita harus memahami ini. Allah akan meninggikan derajar orang orang yg beriman. Karena ini adalah pondasi, modal atau passport utama bagi manusia supaya amal dan upayanya di dunia di terima oleh Allah. Orang kafir yang tidak beriman, semua amalannya sia sia. Kenapa? Karena ia tidak meyakini Allah sebagai tuhannya.
Kemudian Allah akan meninggikan orang-orang yang berilmu.
Dalam pikiran anda, ilmu apa yang dimaksud dalam ayat ini?
Ilmu mekanikkah, ilmu psikologikah, biologi, atau astronomi?
Mari kita fahami. Logikanya begini: Dalam perlombaan balap karung. Pak lurah memberikan penghargaan kepada semua peserta dan semua juara.
Saya bertanya. Pak lurah memberikan penghargaan kepada juara apa? juara catur, balap sepeda, atau menari?
Tentu anda menjawab; Pak lurah memberikan penghargaan kepada juara balap karung. Jika jawaban tidak demikian, tentu jawabannya ngawur.
Begitu juga dalam ayat ini. Orang yang berilmu adalah orang yang berilmu dalam keimanannya. Seperti juara dalam perlombaan balap karung, bukan sekedar peserta, tetapi ada nilai plus. Yaitu juara. Tentu juara berbeda dengan peserta yang tidak menjadi juara.
Begitu juga dengan keimanan kita. Kita mungkin beriman. Tapi apakah keimanan anda dilandasi dengan kefaqihan, kefahaman kita tentang arti iman itu sendiri. Atau hanya ikut ikutan, sehingga ketika dilontarkan syubhat atau pertanyaan yang merusak, meragukan keimanan. Mudah saja ia berpaling dan meninggalkan keimanan.
Para ulama memiliki dua pendapat tentang keimanan seorang muqalid (ikut ikutan).
Pendapat pertama menyatakan bahwa keimanan mereka tidak diterima atau tidak syah. Dengan dalil firman Allah:

Artinya: “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm: 39).

Dengan dalil ini, mereka mengatakan; orang yang taklid/ikut-ikutan, tidak berusaha dalam keimanannya, maka tidaklah memiliki iman. Karena jika yang mereka ikuti kafir, maka akan menjadi kafir juga.

Pendapat kedua menyatakan, keimanan mereka diterima. Dengan dalil, bahwa ketika seorang terlahir, telah ada fitrah keimanan. Dengan dalil:

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.” (QS. Ar-Rum: 30).

Sabda Rasul salallahu ‘alaihi wasalam:

كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه،،،،،، (البخارى و مسلم)

Artinya: “Setiap anak terlahir dengan fitrah (keimanan), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan ia yahudi, nasrani atau majusi”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Masih banyak lagi keutamaan berilmu dalam beriman, diantaranya firman Allah:

Artinya: “Diantara hamba hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama (berilmu)”. (QS. Faatir: 28).

Saudaraku, sungguh jatah umur kita di muka bumi ini hanya sekejap saja. Umur kita kian hari kian berkurang. Maka selayaknya di penghujung tahun ini kita bermuhasabah. Karena berarti jatah hidup kita semakin berkurang.
Mari setulus hati bertanya pada diri, amalan apa yang telah kita perbuat. Coba timang dengan kejujuran, lebih banyak mana, kebaikan atau keburukan. Adakah satu saja amal yang telah kita lakukan, yang terbaik dan kita yakin Allah meridhainya.
Saudaraku, tentu sudah tahu kisah tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Batu besar menutupi mulut gua tadi. Hingga mereka tidak dapat keluar.
Salah satu dari mereka berkata: “Ditempat ini kita tidak bisa meminta pertolongan kepada siapapun. Mari kita berdoa kepada Allah dengan perantaraan (wasilah) amal perbuatan terbaik yang pernah kita lakukan”.
Kemudian mereka berwasilah dengan amal masing masing, sedikit demi sedikit, batu yang menutupi gua bergeser dan akhirnya mereka dapat keluar.
Saudaraku, mari kita bayangkan, kita adalah pelaku dalam cerita tadi. Kemudian ditanya; “Amal terbaik apa yang anda lakukan setahun yang lalu?” Coba renungkan. Apakah anda menemukannya? Hitung, ada berapa? Satu, dua, tiga, atau anda tidak mengingatnya?.

Saudaraku, mari kita bayangkan, kita adalah pelaku dalam cerita tadi. Kemudian ditanya; “Amal terbaik apa yang anda lakukan setahun yang lalu?” Coba renungkan. Apakah anda menemukannya? Hitung, ada berapa? Satu, dua, tiga, atau anda tidak mengingatnya?.
Yang harus kita pegang erat dalam berbuat adalah:
Pertama, Ikhlas. Sebagai orang yang beriman, kita harus memahami ikhlas dengan benar. Karena orang yang tidak berimanpun memiliki prinsip ikhlas. Ikhlas bagi kita, berarti kita melakukan segala sesuatu hanya karenaNya, mengharap ridha dari-Nya. Ini yang membuat perbuatan kita menjadi bernilai.
Kita tahu, diantara cara menyuburkan keimanan adalah dengan meninggalkan maksiat “karena” Allah. Jika anda meninggalkan maksiat karena manusia, atau tidak mampu melakukannya. Tidak akan menjadi nilai amal baik di sisi Allah.
Mencintai seseorang karena Allah. Allah akan mencatatnya sebagai kebaikan.
Bagaimana mencintai karena Allah?
Ketika melihat saudara kita melakukan banyak kebaikan, beramal shalih. Kita berasumsi, Allah mencintai orang ini. Maka karena Allah mencintainya, kita mencintainya.
Saudaraku, Syaithan begitu lihai dalam menggelincirkan manusia. Makna ikhlas kadang menjadi bias.
Kedua adalah; harus sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Rasulullah. Haji dilaksanakan di Makkah pada bulan dzilhijjah, maka jika melaksanakan di tempat lain dan bulan lain, walaupun ikhlas karena Allah. Itu tidak benar.
Lalu, jika kita pawai atau menghambur hamburkan uang hanya untuk membeli kembang api. Apakah ada tuntunan Rasulullah tentangnya?
Mari kita memuhasabah diri. Menengok hari lalu, memilah amal baik yang harus terus kita jaga dan tingkatkan. Menghapus dan mengubur amalan buruk.
Seperti perkataan Ali ra:

حاسبوا أنفسكم قبل أن تحسبوأ

Evaluasilah dirimu sebelum kamu di evaluasi.

Mari kita bangun hari esok untuk lebih baik.

Wallahu a’lam bi shawwab.

Sana’a 24/12/2009. Qoah awal alif.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.